Sabtu, 21 Maret 2009

Korupsi, Keimanan dan Gaji Kecil Birokrat Negara

(“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tak akan pernah cukup untuk satu orang yang serakah”: Mahatma Gandhi). Sebuah petikan pernyataan yang cukup untuk mendeskripsikan bahwa manusia tidak akan pernah terpenuhi kebutuhannya terkecuali dia mau bersikap bijak dan menahan hawa nafsunya. Gaji yang kecil seringkali dijadikan justifikasi orang-orang untuk terus melakukan korupsi dan mendikotomikan nilai-nilai agama yang mereka peluk, padahal mereka sebenarnya adalah orang serakah dan memiliki keimanan yang rendah dalam menyikapi kehidupannya.

Gaji PNS yang Kecil

Semakin banyak saja orang tertarik dengan pekerjaan sebagai PNS, ribuan orang antri berjam-jam demi untuk mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa secara faktual, tingkat pendapatan PNS di Indonesia jauh dari kebutuhan minimum yang layak dan manusiawi. Itupun ditambah lagi dengan minimnya alokasi anggaran untuk kegiatan operasional instansi pemerintah,

Jika kita melihat struktur gaji PNS penerimaan terendah (level SMU) berdasarkan peraturan pemerintah nomor 8 tahun 2009 untuk golongan II/a masa kerja 0 tahun yaitu sebesar Rp. 1.320.300 dan standar Upah Minimum Regional (UMR) tahun 2009 yang paling tinggi (DKI Jakarta) adalah sebesar RP. 1.069.865 (sumber : Apindo), keduanya tidaklah layak untuk menjadi biaya hidup dimasa sekarang. Apalagi PNS yang nyata-nyata mempunyai posisi yang strategis di masyarakat, sudah selayaknya memperoleh gaji yang sesuai dengan tingkat pekerjaannya untuk mencegah kemungkinan penyimpangan yang terjadi. Tak jarang alasan gaji kecil inilah yang kemudian sering digunakan oleh para pelaku tindak korupsi sebagai pembenaran atas kejahatannya.

Perspektif Agama Tentang Korupsi

Pengertian korupsi menurut UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 adalah segala perbuatan : melawan hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2), menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3), kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11), kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10), delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12), delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7) dan delik Gratifikasi ( pasal 12B dan 12C.

Pada dasarnya semua agama melarang korupsi. Korupsi adalah extraordinary crime yang menyengsarakan banyak orang. Efeknya lebih jahat daripada mencuri atau merampok karena yang dirugikan adalah orang banyak. Jadi, sudah sewajarnya apabila semua agama melarang korupsi dan menempatkannya sebagai perbuatan yang tercela dan diganjar dengan dosa yang besar. Berikut merupakan persepsi empat agama besar mengenai korupsi :
  1. Agama Islam : Dalam pandangan Islam, korupsi (mencuri, suap) dan sejenisnya sangat dilarang dan haram hukumnya. Bahkan Allah SWT mengutuk mereka yang melakukan korupsi, sebagaimana dinyatakan, "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal : 27). Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan." (HR. Abu Daud). Rasulullah SAW juga mengingatkan, "Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara." (HR. Ahmad dan Hakim).
  2. Nasrani : Dalam Perjanjian lama maupun Baru, contoh-contoh korupsi dengan stratanya; korupsi karena kebutuhan (by need), karena kesempatan (by chance), dan karena ketamakan (by greed) lengkap disebutkan. Alkitab juga menyebutkan kekhawatiran akan tidak terjaminnya sandang, pangan, dan papan adalah awal dari korupsi. Al Kitab mengisahkan antara lain saat umat Israel keluar dari Mesir dan mengindahkan perintah Tuhan yang memelihara mereka dengan datangnya burung puyuh pada waktu senja dan roti dari surga (manna). Umat Israel bukannya mengambil sesuai perintah Tuhan, yakni segomer seorang, melainkan mengambil berlebihan. Upahnya, makanan yang mereka simpan malah menjadi busuk dan berulat (Keluaran 16:11-21). Contoh lainnya yang paling mashyur dan keji adalah akibat ketamakan adalah Yudas yang menyerahkan Yesus untuk disalib demi 30 keping uang perak.
  3. Hindu : Dalam agama Hindu, korupsi dipandang sebagai satu bentuk pencurian. Korupsi merupakan pelanggaran terhadap empat dari 10 larangan Hyang Widhi (Tuhan). Yakni, Tan Mamadung (tidak menerima yang bukan haknya), Tan Ujar Ahala (Tidak berkata bohong), Satya Wacana (Tidak melanggar sumpah) dan menunjunkkan ketidakpercyaan pada hokum karma pala. Korupsi adalah wujud rongrongan hawa nafsu.
  4. Budha : Didalam Sabda Sang Buddha yang intinya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang dirangkum sebagai berikut: ARAKKHA-SAMPADA yaitu Ia pandai melindungi penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan yang halal dan mencucurkan keringat, bahkan memperlipat gandakannya dan SILA yaitu Ia menjauhkan diri dari pembunuhan, penipuan, pencurian, hubungan sex yang tidak dibenarkan, ucapan yang tidak benar dan menghindar dari minum-minuman keras.

Intinya semua agama melarang korupsi walau tidak secara lugas disebutkan. Semua agama menanamkan nilai-nilai luhur kepada umatnya untuk mengajak kepada kebaikan dan menjauhi segala jenis kejahatan sekecil apapun itu seperti mencuri, merampok, dan lain-lain. Lalu kenapa korupsi di Indonesia marak terjadi ditengah masyarakat yang mayoritas muslim? Apakah Islam tidak melarang korupsi? Seperti sudah dijelaskan diatas tindakan korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Islam sangat mengutuk korupsi dan bahkan memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelakunya (hukum qisas). Dalam Islam tindakan korupsi itu sendiri bisa dianalogikan sebagai penyalahgunaan jabatan (Ghulul), pencurian (sariqoh), pengkhianatan dan suap (risywah). Kalau mau bersikap lebih jernih yang salah disini bukanlah Islam dan ajarannya sebagai agama, tetapi individu masing-masing dari pemeluk agama yang bersangkutan. Sekali lagi keimanan memagang peranan penting dalam pembentukan mental bangsa yang korup ataupun tidak.

Tingkat Keimanan dan Korupsi

Keimanan adalah sebuah sikap dimana kita mempercayai ajaran agama yang kita peluk dan kita berusaha untuk menjalankan dan menjauhi segala hal yang diperintahkan dan dilarang dalam agama. Intinya disini adalah ajaran untuk selalu berbuat baik. Keberkaitannya dengan gaji PNS yang kecil adalah ada banyak hal yang bisa dilakukan seorang PNS untuk menyikapi gaji kecil yang mereka peroleh terkait dengan keimanan yang dimilikinya agar kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Sekali lagi semuanya tergantung dari niat dan kemauan mereka dalam hal menyikapi gaji yang mereka terima tersebut. Apabila mereka memiliki tingkat keimanan yang baik, tentunya ada dua sikap yang dapat mereka lakukan. Pertama, mereka akan mencari sumber penghasilan lain dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sebagai contoh adalah guru yang selain mengajar di sekolah juga mengajar di sejumlah bimbingan belajar untuk memperoleh penghasilan tambahan. Kedua, mereka menerima gaji yang mereka peroleh tersebut. Konsekuensinya mereka harus memperketat pengeluaran dan hidup dengan lebih sederhana. Seorang PNS yang memiliki keimanan yang baik tentunya tidak akan melakukan penyimpangan seperti korupsi.

Lalu, bagaimana jika seseorang tidak memiliki tingkat keimanan yang baik? Ada sebuah pernyataan yang berbunyi yaitu “orang pintar yang tidak memiliki moral akan jauh lebih berbahaya dari orang jahat yang tidak pintar”. Korelasinya adalah seorang PNS yang notabene memiliki kemampuan yang baik tetapi tidak memiliki keimanan yang baik, akan sangat berpotensi besar untuk melakukan korupsi. Justifikasi awal mereka mengenai korupsi adalah mereka berdalih bahwa gaji yang kecil yang menyebabkan mereka melakukan korupsi. Padahal sebenarnya mereka tidak akan puas dan akan terus melakukan korupsi.

Menurut Maslow, kebutuhan seseorang itu terdiri dari enam tingkatan. Kebutuhan dasar berawal dari kebutuhan fisik (physical needs), kemudian berlanjut kebutuhan keamanan (security needs), sosial (social needs), harga diri (esteem needs) dan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Semakin tinggi tingkatan seseorang, maka semakin sejahtera kondisi dari orang tersebut. Ketika seseorang tidak melakukan tugasnya dengan baik, atau dalam hal ini melakukan manipulasi terhadap hasil pekerjaannya atau melakukan tindakan korupsi, pada hakikatnya ia telah kembali lagi ke level terendah dalam Piramida Maslow tersebut, ibaratnya ia bagaikan ”seekor binatang buas” yang hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan fisiknya saja dan tidak pernah bisa naik ke tingkatan berikutnya.

Tindakan memanipulasi suatu pekerjaan dan melakukan korupsi bukan merupakan cerminan sikap dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Hal ini malah menggambarkan bahwa pegawai tersebut belum terpenuhinya kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yaitu kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, dan papan. Haus akan kekayaan, perutnya masih membutuhkan makanan, jiwanya menginginkan pakaian dan perhiasan gemerlap, dan nafsunya hanya memikirkan uang yang bisa dia kumpulkan dan dia simpan. Tindakan ini akan semakin menjadi-jadi dan menyebabkan penghalalan segala cara demi memenuhi kebutuhannya tersebut. Maka pegawai tersebut tidak dapat penghargaan atau pengakuan atas kemampuannya, malah orang lain akan melihat bahwa mereka kembali menjadi golongan yang masih membutuhkan pemenuhan terhadap kebutuhan primernya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mendasarkan diri pada keimanan dan agama, tetapi lebih mementingkan kesenangan pribadi. Sebagai contoh adalah kasus korupsi antara anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal dan Presdir PT First Media Tbk Billy Sundoro terkait adanya monopoli siaran sepakbola Liga Inggris oleh operator TV berbayar Astro (Direct Vision). Gaji 10 Jutaan anggota KPPU terasa oleh mereka kurang dibanding dengan godaan atas jabatan yang mereka emban. Contoh lainnya adalah korupsi anggota DPR dengan gaji yang sangat besar akan tetapi masih tetap menerima uang haram dari mana-mana, seperti yang terungkap di penyidikan aparat penegak hukum terhadap Al Amin Nasution dari Fraksi PPP dan baru-baru ini adalah Abdul Hadi dari Fraksi PAN. Dari sini dapat dilihat bahwa Gaji bukanlah faktor utama seseorang melakukan korupsi. Orang dengan gaji yang besarpun melakukan korupsi dengan berbagai macam dalil dan alasan pembenaran

Antara Gaji kecil, Agama dan Korupsi

Gaji kecil memang merupakan salah satu sebab maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia, namun bukanlah satu-satunya faktor utama penyebab korupsi. Sudah sangat jelas dipaparkan diatas bahwa agama manapun melarang dan mengutuk korupsi sebagai perbuatan tercela.Apabila masing-masing pemeluk agama memiliki keimanan yang tinggi terhadap ajaran agamanya, korupsi bisa saja dihindarkan. Namun yang terjadi sekarang adalah moralitas dari masyarakat Indonesia yang rendah dan mendikotomikan agama yang mereka peluk. Mereka berpendapat bahwa korupsi adalah masalah horizontal dengan sesama manusia, sedangkan agama adalah masalah vertikal manusia terhadap Tuhannya. Seharusnya, nilai-nilai keimanan dan agama merupakan bagian dari hidup manusia dan dasar bertindak bagi tiap manusia didalam melakukan perbuatannya sehari-hari. Kesimpulannya adalah bagi orang yang tingkat keimanannya tinggi, gaji kecil merupakan jalan bagi mereka untuk lebih kreatif dalam mencari tambahan penghasilan atau menerima dan hidup lebih sederhana. Sedangkan bagi orang yang keimanannya rendah merupakan pembenaran untuk melakukan korupsi untuk kepentingannya sendiri. Apapun pilihan kita, selalu ingat bahwa akan ada kehidupan nanti setelah kehidupan dibumi sekarang dimana kita mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita selama didunia.


Permasalahan Badan Layanan Umum (BLU) di Indonesia

Pendahuluan

Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari pengganggaran tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi pada output. Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran untuk menggunakan sumber daya pemerintah yang makin terbatas, tetapi tetap dapat memenuhi kebutuhan dana yang makin tinggi.


Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang telah dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Pendekatan penganggaran yang demikian sangat diperlukan bagi satuan kerja instansi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada publik. Salah satu alternatif untuk mendorong peningkatan pelayanan publik adalah dengan mewiraswastakan pemerintah. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi sektor keuangan publik. Ketentuan tentang penganggaran tersebut telah dituangkan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.


Selanjutnya, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut menjadi dasar penetapan instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). BLU ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Definisi :

Instansi dilingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara).

Karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum, yaitu:

  • Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara
  • Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;
  • Tidak bertujuan untuk mencarai laba;
  • Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
  • Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;
  • Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;
  • Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil.
  • BLU bukan subyek pajak

Tujuan BLU yaitu :

  • Dapat dilakukan peningkatan pelayanan instansi pemerintah kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
  • Instansi pemerintah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktik bisnis yang sehat;
  • Dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait.

Lingkup Keuangan BLU :

Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Perbedaan tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut:

  1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
  2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan
  3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintaahn yang bersangkutan;
  4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
  5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan
  6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah;
  7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah;
  8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan;
  9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari msyarakat atau badan lain;
  10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah.

Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain;

2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan

3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.

Institusi yang dapat menerapkan PK BLU :

· Instansi yang langsung memberikan layanan kepada masyarakat (organic view);

· Memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.


Dalam lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui pola BLU. Ada yang mendapatkan imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, dan ada pula yang bergantung sebagian besar pada dana APBN/APBD. Satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan.

Peluang ini secara khusus disediakan bagi satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik. Hal ini merupakan upaya peng-agenan aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah dengan pengelolaan ala bisnis, sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.

Masalah yang Timbul dan Solusinya

Akan tetapi, dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai. Adapun masalah-masalah tersebut adalah :


1. Pengelolaan kas BLU menghambat pembentukan Treasury Single Account sebagaimana diamanatkan UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Sesuai dengan PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU pasal 16 ayat (1), BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan, menyimpan kas dan mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dalam pasal 14 juga disebutkan bahwa penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU dan pendapatan lainnya yang bersumber dari selain APBN/APBD (pendapatan operasional, hibah, maupun hasil kerjasama dengan pihak lain) dilaporkan sebagai PNBP kementerian/lembaga atau PNBP daerah. Pendapatan-pendapatan ini (kecuali hibah terikat) dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. Aturan ini menjadi tidak sesuai dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara/ Daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/Daerah.


Walaupun hal ini bisa diperdebatkan karena dalam menyelenggarakan kegiatannya BLU juga membuat perencanaan kerja dan penganggaran yang tertuang dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU, namun pada kenyataannya antara perencanaan anggaran dengan realisasinya sangat besar kemungkinan timbul selisih atau varians. Varians timbul karena BLU dapat menghimpun dana selain dari APBN/APBD dan dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLU. Memang benar belanja BLU yang dimaksud harus sesuai dengan RBA BLU, namuun kondisi semacam ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan terutama apabila varian ini digunakan baik oleh BLU maupun kementerian Negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah guna menghimpun dana nonbudgeter (dana taktis) yang secara tegas oleh Suryohadi Djulianto, penasihat KPK, dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.


Pemerintah sebenarnya sudah menerapkan beberapa alternatif untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan mensyaratkan RBA BLU agar sesuai dengan rencana strategis kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah. Selain itu juga sudah diatur mengenai tindakan yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian Negara/daerah pada BLU dan penerapan otorisasi batasan maksimal penggunaan anggaran secara bertingkat.


Namun, selain hal tersebut di atas, pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku BUN sebaiknya mengeluarkan peraturan terkait proses atau mekanisme pengelolaan kas BLU yang lebih rinci meliputi teknis dan administrasinya. Semua penerimaan BLU yang dikategorikan sebagai PNBP dan pengeluaran BLU harus terlebih dahulu dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara Daerah sebagaimana diamanatkan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dan terkait istilah dapat “dikelola langsung” untuk membiayai belanja BLU tetap harus mengikuti tertib administrasi sebagaimana instansi public lain yang menerapkan prosedur SPM dan SP2D. Yang perlu diatur lebih lanjut adalah mengenai batasan fleksibilitas penerapan praktik bisnis BLU terkait pengelolaan kas/anggaran agar tetap sesuai dengan RBA dan rencana strategis instansi induk (kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah) yang bersangkutan. Peraturan yang akan dibuat ini tidak hanya diperuntukkan bagi BLU saja, tetapi juga meliputi instansi yang merupakan otorisator penerimaan maupun pengeluaran Negara/Daerah demi menjaga efisiensi pengelolaan BLU.


2. BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut.

Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”. Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.


Padahal, sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.


Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan sebagai argumen dalam mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen tersebut adalah:

1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan aturan yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.


Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat keputusan lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana peraturan dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih aturan mana yang harus dipakai.


3. Badan Layanan Umum dari sisi Perpajakan

Pemerintah mempunyai dua peran pokok yaitu mengumpulkan sumber daya dan mengalokasikannya lagi kepada masyarakat. Selain berperan sebagai fungsi alokasi, BLU juga bisa dilihat dari sisi perpajakannya. Kalau kita telaah kembali pos-pos dalam I-Account sesuai dengan PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar, pendapatan negara berasal dari penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak dan hibah. Jadi jelaslah bahwa negara sangat mengandalkan penerimaan dari sektor pajak.


Menurut Undang- Undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan menyebutkan bahwa BLU bukanlah merupakan subjek pajak. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan ayat (3) huruf b tersebut, subjek pajak adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.


Suatu badan pemerintah baru dikategorikan sebagai bukan subjek pajak apabila keempat aspek diatas terpenuhi dan BLU merupakan badan pemerintah yang memenuhi keempat aspek diatas, oleh karena itu jelaslah bahwa BLU bukan merupakan subjek pajak.


Badan yang didanai dari APBN/APBD tidak memiliki kewajiban PPh terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, Badan tersebut tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan subyek pajak. Namun ada masalah yang timbul disini, yaitu apabila suatu badan menerima pendanaan dari APBN/APBD namun masih mendapatkan pembiayaan dari luar APBN/APBD atau tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam APBN/APBD, maka kewajiban menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain. Sebagai contoh adalah Badan Hukum Pendidikan (BHP) Universitas Indonesia yang masih disebut sebagai subjek pajak. Secara perlakuan mereka sama seperti BLU yang menerima APBN/APBD namun kenapa mereka disebut sebagai subjek pajak sedangkan BLU bukan merupakan subjek pajak. Secara sekilas kita dapat melihat adanya dualisme pelakuan pemerintah disini, yaitu antara BLU dan BHP.


Untuk menelaah hal tersebut kita kembali lagi ke definisi badan menurut UU PPh yang menyebutkan bahwa badan yang dimaksud adalah unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat syarat menurut UU PPh agar bisa disebut sebagai bukan subjek pajak. BHP bukanlah unit tertentu dari badan pemerintah karena ia sudah merupakan badan hukum sendiri yang secara independen terpisah dari pemerintah. Oleh karena itu Pasal 2 ayat (3) UU PPh diatas tidak berlaku bagi BHP dan badan lainnya yang bukan merupakan unit tertentu dari badan pemerintah walaupun mereka memperoleh pembiayaan dari APBN/APBD.


Berkaitan dengan PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, apabila suatu badan pemerintah sudah mendapat penetapan sebagai BLU, karena seluruh penerimaan dan pembelanjaan masuk APBN/APD, maka BLU tersebut bukan merupakan subyek pajak sehingga tidak memiliki kewajiban membayar PPh Badan (pasal 25 dan PPh 29). Namun demikian BLU tetap memiiliki kewajiban sebagai pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26, dan pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan aktivitas pembayaran gaji, honor, jasa, sewa, dll kepada karyawan dan pihak ketiga. Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada pasien, BLU juga berpotensi memiliki kewajiban memungut PPN (pajak pertambahan nilai) dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak


Lalu bagaimanakah dengan pendapatan BLU tersebut? Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena BLU bukan subjek pajak.

4. Pengelolaan PNBP pada BLU bertentangan dengan UU yang mengatur tentang PNBP

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Pengertian ini tertuang dalam Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. PNBP tersebut antara lain penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dapat dilaksanakan kepada masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan.


Pada pasal 4 UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP juga disebutkan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara. Dan pada pasal 8 dinyatakan bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan.


Dari pasal-pasal di atas dapat diketahui bahwa PNBP merupakan salah satu unsur penerimaan negara yang masuk dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.


Dalam kaitannya dengan BLU, aset yang ada di BLU merupakan milik negara yang tidak dipisahkan, demikian juga pembiayaan operasionalnya seperti listrik, gaji dosen dan karyawan berasal dari pemerintah/negara. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh BLU merupakan PNBP. Hal ini juga tertuang dalam pasal 14 PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Kas BLU yang menyatakan bahwa pendapatan BLU akan dilaporkan sebagai pendapatan bukan pajak.


Pengelolaan PNBP pada BLU tidak sejalan dengan UU Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, karena PNBP oleh BLU dapat langsung digunakan untuk membiayai belanja BLU, baik sebagian atau seluruhnya. Hal ini, dalam Pasal 69 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan tegas dinyatakan bahwa pendapatan BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan beserta hibah maupun sumbangan yang diperoleh dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Begitu juga dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005, yakni dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: (a). merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; (b). melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan; (c). menyimpan kas dan mengelola rekening bank; (d). melakukan pembayaran; (e), mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan (f). memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.


Sesuai amanat UU PNBP dan UU Perbendaharaan Negara, maka seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara, sehingga mengimplikasikan bahwa pemerintah tidak diperbolehkan untuk melakukan penerimaan/pemungutan dana non-budgeter. Apabila konsep penerimaan kas yang dilakukan oleh BLU dipandang secara simultan dari kedua UU tersebut maka hal ini akan semakin rancu. BLU bisa dianggap tidak sesuai dengan UU PNBP karena adanya kewenangan menggunakan pendapatan secara lansung, baik sebagian maupun seluruhnya. Dan, jika dipandang dari sisi UU Perbendaharaan Negara, maka pengelolaan kas pada BLU yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2004 dan PP No. 23 Tahun 2005 juga bertentangan dengan UU Perbendaharaan Negara itu sendiri. Dalam pasal 12 UU No. 1 Tahun 2004 dinyatakan bahwa setiap penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral.

Kesimpulan

Ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi mengenai badan layanan umum (BLU) ini, yaitu :

1. Badan layanan umum merupakan perwujudan dari reformasi keuangan yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.

2. Pada penerapan BLU dijumpai permasalahan-permasalahan terutama yang terkait dengan benturan kepentingan antara BLU dengan peraturan pemerintah yang ada.

3. Sinkronisasi peraturan antar unit-unit pemerintah yang terkait adalah cara yang paling logis dan komprehensif didalam mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan BLU ini.


(sumber : Wirawan Purwa Yuwana dan PK BLU)