Selasa, 05 Agustus 2014

Sebuah Perenungan Singkat



Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang ketika aku berbincang dengan seorang guru SD paruh baya yang berpenampilan sangat sederhana. Dengan sedikit canggung akhirnya percakapan itu muncul juga.

"udah lama, bu menjadi seorang guru?", tanyaku.

"Menurut Nak Tomi gimana? Alhamdulillah ibu sudah menjadi guru dari sejak lulus SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sampai dengan ibu sekarang berusia 54 tahun", jawabnya

"Enak ga bu menjadi guru? apalagi ibu kan guru SD yang pastinya susah buat mendidik anak-anak kecil yang nakal", tenyaku lagi terhadapnya.

"Alhamdulillah, Ibu seneng", dia lalu tersenyum "gaji guru sekarang alhamdulillah sudah lumayan tinggi lho nak Tomi, lebih gede dari gaji beberapa pegawai negeri biasa".

Ibu itu kemudian sedikit berubah roman mukanya, sambil berbicara dengan nada yang sedikit berat ibu tersebut melanjutkan percakapannya, "Tapi yang ibu aneh dengan gaji yang sudah lumayan seperti ini masih ada saja orang yang tidak puas. Nak Tomi dari Keuangan kan? Pasti tau soal dana BOS? sebenarnya alokasi dana BOS pada setiap sekolah bagaimana sih? terus pertanggungjawabanya bagaimana? Setiap kali ibu tanyakan pada kepala sekolah Ibu tentang dana BOS SD tetangga Ibu, dia hanya menjawab dengan jawaban bahwa kita tidak usah melihat dapur tetangga. Yang ada ya yang ada saat ini. Padahal sebagai SD yang kualifikasinya sama,SD sebelah mendapat dana BOS yang lebih besar. Terus catatan kucuran dana BOS selama ini hanya kepala sekolah yang tau.

"Saya dari pajak bu, bukan dari keuangan yang berwenang dalam hal ini, jadi saya kurang paham, Bu".

"Oh begitu...Iya Nak Tomi, terus Ibu melihat banyak sekali penyimpangan. Misalnya : Bola yang dipake itu-itu saja tapi kuitansinya sampe ada tiga kali, buku-buku yang pengadaanya fiktif, dana buat acara hari-hari besar yang sbenarnya tidak ada, dan lain-lain. Ibu aneh, kok ada orang yang tega berbuat itu ya?"

"Ibu ga melaporkan? emang tidak ada Inspektorat dari kotamadya/provinsi yang masuk?"

"Ada, tapi ya itu, tidak ada tindak lanjut...selalu melempem. Kemaren ada guru dari sekolah Ibu yang melaporkan ke Diknas Provinis, tapi apa yang terjadi? Dia dimutasi. Kalo mikirin ini ibu suka miris. Pengennya dana tersebut bener-bener dipake buat pendidikan anak-anak didik, tapi ya bagaimana Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi makin hari ibu semakin merasa bersalah...Ibu merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf ya, Nak Tomi kalau Ibu malah curhat."

Ibu itu terdiam sejenak kemudian melanjutan,"Bukankah Apabila kita melihat Kejahatan/Kezholiman yang terjadi, cegalah dengan tanganmu (perbuatan), jikalau kamu tidak mampu, cegalah dengan ucapan/lisan, dan jikalau engkau masih tidak mampu, maka gunakan hatimu tetapi yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman...Semoga saja semuanya bisa berubah."

Mendengar perkataan ibu itu, Aku hanya terdiam...Inikah wajah pendidikan kita? Kemana Larinya 20% uang rakyat. Pernah dengar sebuah pepatah yang berbunyi...guru kencing berdiri, murid kencing berlari...kalo dunia pendidikan saja sudah mengajarkan korupsi sejak dini dari cerminan tindakan para guru dan kepala sekolahnya, terus bagaimana dengan murid2nya kelak dikemudian hari...

Korupsi oh korupsi? kapankah engkau mau pergi dari Indonesiaku...

(September 28, 2009 at 8:19am)

BOIKOT PAJAK ATAU BAYAR PAJAK…? (Sebuah Pemikiran Sederhana)



“The first great lesson to learn about taxation is that taxation is simply robbery. No more and no less. For what is "robbery"? Robbery is the taking of a man's property by the use of violence or the threat thereof, and therefore without the victim's consent. And yet what else is taxation?” (Murray Rothbard) “

"Ada dua hal yang tidak bisa dihindari dan sangat ditakuti manusia ketika dia hidup didunia yaitu Malaikat maut dan Pajak….!”. Berbicara mengenai pajak, tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung sebuah anekdot diatas yang merepresentasikan bagaimana sikap masyarakat ataupun rakyat terhadap Pajak. Pajak ada disetiap lini kehidupan kita, coba liat kita sekarang lg browsing internet itu dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), beli pulsa hape juga kena PPN, beli baju kena PPN, beli sabun dan sampo kena PPN ampe beli makan di KFC pun kena PPN. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pajak merupakan momok dan sangat tidak disukai orang. Tidak ada orang yang menyukai pajak bahkan petugas pajak sekalipun bila dikaitkan bahwa penghasilannya yang harus dipotong pajak. Siapa yang rela penghasilan secara sukarela harus dipotong 5-30% untuk negara? Kesimpulannya : “TIDAK ADA ORANG YANG MENYUKAI PAJAK…”

TETAPI BENARKAH PAJAK SEBURUK ITU? 
Sebelum kita melakukan justifikasi terhadap pajak ada baiknya kita mengetahui "Apa Itu Pajak", karena ada kata pepatah yang menyatakan bahwa, "Tak Kenal Maka Tak Sayang"

1. DEFINISI PAJAK

Ada banyak definisi mengenai pajak , namun apabila kita ringkas pengertian pajak menurut Adriani, Sumitro dan Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R….PAJAK adalah Iuran rakyat kepada penguasa/pemerintah yang dilandasi dengan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tanpa kontraprestasi secara langusung sebagai upaya pemerintah untuk meratakan distribusi pendapatan. Atau menurut UU KUP Pasal 1 ayat (1): Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. SEJARAH PAJAK DI INDONESIA DAN DI BEBERAPA NEGARA DI DUNIA.

a. Mesir

Sepanjang yang diketahui oleh manusia modern, sejarah pajak dimulai dari Mesir. Selama beberapa periode pemerintahan Fir’aun, pemungut pajak dikenal dengan nama Scribes. Selama periode Scribe mengenakan pajak atas minyak goreng. Untuk memastikan bahwa warga masyarakat tidak berusaha menghindari pajak minyak goreng, Scribe akan melakukan “audit” terhadap rumah tangga untuk memastikan jumlah minyak goreng yang dikonsumsi dan bahwa pajak tidak dikenakan terhadap minyak goreng yang bekas pakai. Jangan berharap bahwa proses audit yang dilakukan sama seperti yang kita kenal sekarang. Pastinya bagaimana, mungkin hanya antropolog dan sejarawan yang tahu.

b. Yunani

Pada masa-masa perang bangsa Athena dikenai pajak Eisphora yang digunakan untuk membiayai perang. Tak ada seorangpun yang lolos alias memperoleh fasilitas pembebasan dari pajak ini. Warga bisa meminta pengembalian pajak (restitusi) pada saat perang usai yang dananya dicari fiskus dari sumber tambahan lain. Tidak ada informasi resmi yang menyebutkan apakah restitusi juga berlaku jika perang diakhiri dengan kekalahan bangsa Athena sendiri. Selain itu bangsa Athena juga dikenai Pajak Suara atau toll tax setiap bulan yang dikenal dengan nama Metoikion. Pajak ini wajib dikenakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu mereka yang ibu dan bapaknya bukan orang Athena, besarnya satu Drachma (mata uang mereka) untuk laki-laki dan setengah Drachma untuk wanita.

c. Romawi

Pajak yang pertama diperkenalkan di Roma adalah Bea Pabean atas impor dan ekspor yang disebut Portoria. Kaisar Augustus dianggap sebagai ahli strategi pajak dalam Kekaisaran Roma. Dalam masa pemerintahannya, jabatan Publicani, pemungut pajak, sebagai pemungut pajak pemerintah pusat dihapuskan. Selama periode ini kota Roma diberi kekuasaan untuk memungut pajak. Kaisar Augustus menetapkan Pajak Warisan untuk menyediakan Dana Pensiun bagi militer. Pajak ini besarnya 5% atas semua warisan kecuali atas pemberian untuk anak-anak dan pasangan. Inggris dan Belanda mengacu kepada Pajak Warisan ciptaan Augustus ini dalam mengembangkan Pajak Warisan. Selama zaman Julius Caesar ada Pajak Penjualan yang dikenakan sebesar 1 persen atas penjualan. Khusus untuk penjualan budak dikenai 4 persen!!

d. Amerika Serikat

Bicara tentang sejarah pajak modern, kita tidak bisa lepas dari sejarah pajak di Amerika. Rakyat pada abad 17-an membayar pajak berdasarkan Molasses Act. Tahun 1764 M peraturan ini diubah dengan memasukkan bea import atas gula sirup, gula, bir dan komoditi lain. Peraturan baru ini dikenal sebagai Sugar Act. Karena Sugar Act tidak menaikkan jumlah penerimaan, maka diberlakukanlah Stamp Act pada tahun 1765 M. Stamp Act mengenakan pajak langsung atas surat kabar dan dokumen-dokumen hukum serta komersial.

e. Indonesia

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

Pada masa pergerakan sampai dengan awal kemerdekaan, perpajakan di Indonesia terus melakukan pembenahan sampai dengan dimulainya tax reform/reformasi perpajakan di Indonesia pada tahun 1983 dengan diberlakukan self assessment system yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan menghitung, melaporkan dan membayarkan pajak yang terutang kepada negara. Reformasi ini sendiri dimulai dengan diundangkannya pemungutan perpajakan di Indonesia melalui UU Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dan UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. PERPAJAKAN DALAM ISLAM

Perpajakan didalam Islam dikenal sebagai bentuk sumbangan kepada negara bagi warga non-muslim, sedangkan bagi muslim dikenakan zakat. Ini merupakan bentuk persamaan hak berwarga negara antara warga muslim dan non-muslim. Sebagai negara yang rakyatnya mayoritas muslim, isu perpajakan berdasarkan islam memang sangat sensitif, namun Indonesia bukanlah negara Islam, oleh karena itu tidak tepat jika menerapkan perpajakan menurut Islam di Indonesia. Menurut Agustianto didalam blog-nya, ada syarat pemungutan pajak dalam Islam, yaitu :

a. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy.
b. Pemungutan Pajak yang Adil. Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyrakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082).
c. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya.
d. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.
e. Pembayaran pajak tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat, meskipun diniatkan pajak itu sebagai zakat. Sebab wajibnya zakat bersifat aqli dan abadi, mutlak dan ta’abbudi. Sedangkan pajak bersifat ‘aqli, berdasarkan maslahat dan bersifat temporer.

(Bagi yang beragama lain, saya tidak bisa menyebutkan dasarnya karena saya hanya tahu perpajakan menurut agama saya yaitu Islam…bagi yang mau menambahkan dengan senang hati akan saya terima)

4. POSISI PAJAK DALAM KEUANGAN PUBLIK

a. Konsep Keuangan Publik.

Konsep dasar pengelolaan keuangan publik sebenarnya dapat simpulkan dengan mendefinisikan Peran pemerintah dalam pengelolaan keuangan publik itu sendiri. Adapun peran pemerintah adalah : Collect resources then Allocate and use those resources(Allen and Tommasi 2001, 19-39). Jadi, pemerintah disini bertugas mendistribusikan pemerataan pembangunan kepada masyarakat, mensejahterakan rakyatnya dan memberikan pelayanan yang tidak bisa disediakan oleh swasta seperti : Pertahanan dan keamanan, pembangunan jalan dan fasilitas umum, memberikan subsidi kepada rakyat kecil dan pelayanan yang bersifat non-profit lainnya. Lalu, Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan melakukan pengelolaan perusahaan milik negara secara profesional (BUMN) dan menarik sumbangan yang “dapat” dipaksakan dari masyarakat itu sendiri atau yang sering disebut sebagai “PAJAK”.

Adapun sebagai fungsi pengawasannya didalam konsep keuangan publik, masyarakat menunjuk perwakilannya didalam suatu proses politik (Pemilu) untuk mengawasi pemerintah didalam menggunakan sumber daya yang telah diambil dari masyarakat. Perwakilan itu disebut dengan DPR. Pemerintah menjalankan pemerintahannya secara transparan dengan melaporkan setiap hal yang dilakukannya seperti selayaknya yang dilakukan swasta dan Laporan keuangan Tahunannya. Sedangkan BPK, ITJEN dan BPKP berperan bertugas sebagai auditor eksternal, internal dan lintas sektoral didalam pengawasan pelaksanaan pemerintahan. Jadi didalam konsep keuangan negara dikenal 4 unsur yaitu : Pemerintah (pengelola), Masyarakat ( salah satu Sumber dari keuangan pemerintah), DPR (sebagai perwakilan masyarakat) dan Auditor.

b. Ketergantungan Indonesia terhadap Pajak.

Dari tahun ke tahun Indonesia sangat bergantung dari perpajakan didalam penerimaan negara. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2009, penerimaan negara dari perpajakan hampir mencapai 50 persen atau bahkan 60-70 persen lebih dari total penerimaan secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah total penerimaan pajak dari tahun 2004-2009 masing-masing yaitu : 69%, 70%, 64%, 69%, 66 dan 74% (sumber : APBN dan realisasinya). Dana yang sebesar itu diperuntukkan bagi pemerintah didalam melakukan operasionalnya sehari-hari mulai dari subsidi, pembangunan infrastruktur, keamanan dan pertahanan, pendidikan, kesehatan dan pengeluaran pemerintah lainnya. Bisa dibayangkan dari mana Indonesia harus menutupi operasionalnya sehari-hari tanpa pajak? Dengan meminta pinjaman dari negara lain? Mengharapkan penghasilan BUMN? Atau adakah cara lainnya?

5. BUNUH TIKUSNYA TETAPI JANGAN BAKAR LUMBUNGNYA

a. Kegagalan Tax Reform 1983 (Tahun 1983-2006).

Seperti kita ketahui korupsi dan orde baru adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat seolah sudah permisif dan melegalkan korupsi yang terjadi ditiap lini birokrasi walaupun sebenarnya mereka sudah muak dangan korupsi yang merajalela tersebut. Dan penyakit ini juga menjalar dipajak dengan tidak terkecuali. Menjalankan aturan baru perpajakan tentunya tidak akan mudah dan tentu saja akan terjadi banyak kelemahan-kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak bersama dengan petugas pajak. Kegagalan tax reform ini tentu saja memukul dan makin menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak dan aparaturnya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tax reform yang dicanangkan pada tahun 1983 itu mengalami kegagalan didalam penerapannya.

b. Reformasi Jilid II

Era reformasi terus bergulir, semakin banyak orang yang mulai berfikir tentang negara dan bangsa dan tidak hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Direktorat Jenderal Pajak juga berbenah mulai dari tahun 2002. Dengan mengusung semangat modernisasi, pada awal tahun 2007 Darmin Nasution sebagai Dirjen pada waktu itu berusaha untuk mengubah mengubah mindset orang tentang pajak. Pajak harus berubah dan profesional…Untuk itulah reformasi jilid II mulai dijalankan dipajak. Aspek yang dibenahi tidak hanya menyangkut “penghasilan petugas pajak belaka”, namun lebih dari itu penyempurnaan sistem , peningkatan pelayanan, pembenahan peraturan bagi Wajib Pajak, serta peningkatan pengawasan dengan membentuk satuan kepatuhan internal didalam tubuh Direktorat Jenderal Pajak yang disebut sebagai Kitsda.

Berhasilkah? Satu istana yang megah tidak akan dapat dibangun dalam semalam. DJP Terhitung baru menjalankan modernisasi selama 3 tahun. Selama itu pula masih banyak kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. Namun bukan berarti DJP tidak bekerja keras. Pembenahan terus dilakukan, mindset dari “orang2 lama” terus berusaha untuk dihilangkan dan mengubah paradigma lama akan terus dilakukan oleh DJP. Anda bisa membaca buku "Berbagi Kisah dan Harapan" mengenai perjalanan modernisasi DJP disini untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya didalam internal DJP dan bukti bahwa DJP benar2 sedang berbenah.

Modernisasi bukanlah hal baru, Republika pernah membicarakan mengenai ini lewat tulisan Zaim Uchrowi pada 3 April 2009. Namun disini saya tidak akan membahas mengenai apakah modernisasi pajak berhasil ataupun tidak. Yang saya tekankan disini adalah bahwa pajak sedang berusaha untuk berubah menjadi lebih baik dan itu membutuhkan pengawasan dari masyarakat. Anda boleh menghukum semua oknum di pajak yang bersalah, tetapi menurut saya tidaklah etis bila kita menyamaratakan semua pegawai pajak. Evaluasi, Evaluasi dan Evaluasi adalah wajib dilakukan oleh Dirjen Pajak…Jangan hanya bisa bersikap reaktif…!


Jakarta, 28 Maret 2010


Sumber :
-Allen, Richard and Daniel Tommasi. 2001. Managing Public Expenditure : A Reference Book for Transition Countries. OECD.
-http://www.mediafire.com/?nywozw220cn diakses tanggal 28 Maret 2010
-http://umum.kompasiana.com/2010/03/28/mari-mengenal-kantor-pajak-dari-dekat-lanjutan-tulisan-minami/ diakses tanggal 28 Maret 2010
-http://www.pajak.go.id/index.php?view=article&catid=72&id=9218 diakses tanggal 28 Maret 2010
-http://www.konsultan-pajak.co.cc/1_21_Sejarah-Pajak.html diakses tanggal 28 Maret 2010
-http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan diakses tanggal 28 Maret 2010
-http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak diakses tanggal 28 Maret 2010
-http://agustianto.niriah.com/2008/04/14/syarat-syarat-pemungutan-pajak-menurut-islam/ diakses tanggal 28 Maret 2010
-Ringkasan APBN 1994-2009