Jumat, 23 April 2010

BPK Temukan Kerugian Negara dari Pajak Rp 96 Triliun : Sebuah Tulisan Memaknai Pesan Yang Ingin Disampaikan Oleh BPK

Saya sempat sedikit tertegun dan shock dengan judul headline di www.detiknews.com isinya kira-kira seperti ini :


BPK Temukan Kerugian Negara dari Pajak Rp 96 Triliun 

"Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menelusuri beberapa Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) yang menangani wajib pajak besar. Karena dalam hasil pemeriksaan BPK atas penerimaan pajak dan kegiatan operasional tahun anggaran 2008 dan 2009, ditemukan potensi kerugian negara di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu (Jalan Medan Merdeka Timur 16, Jakarta) hingga Rp. 96 triliun."

..........................................................................................................................................................................

"Namun BPK juga menyatakan hal ini masih harus diteliti, diuji, dan didalami di mana dari hasil penelitian tersebut dapat saja disimpulkan tidak terdapat potensi PPh dan PPN." sumber : http://www.detikfinance.com/read/201...-rp-96-triliun.

Semula paragraf pertama sempat meyakinkan saya dan malah membuat saya hampir-hampir memberikan apresiasi atas keberhasilan BPK menemukan temuan yang "fantastis", apalagi temuan yang ada diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak WP Besar (Large Taxpayer Office) yang notabene memiliki sistem pengendalian maksimum yang sangat sulit untuk ditembus bahkan untuk orang sekelas Gayus sekalipun. Namun, paragraf terakhir kembali membuat saya mengerutkan dahi : "ini baru opini toh ???"



Memaknai Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 

Sesuai dengan perannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berperan sebagai auditor eksternal. Ibaratnya Indonesia itu suatu perusahaan, tentunya ada auditor internal (Itjen dan BPKP) dan Auditor Eksternal (BPK). Peran BPK sangat vital karena sebagai pihak luar, BPK diharapkan dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang ada pada pemerintahan dan BPK dipandang lebih independen karena merupakan "pihak diluar pemerintahan".

Antara BPK, Media Massa, dan Kasus 96 Triliun 

BPK dalam kasus ini menurut saya hanya memberikan opini atas suatu permasalahan yang menurut mereka berpotensi untuk menimbulkan kerugian negara. Salahkah? Tidak...karena lagi-lagi ini merupakan tugas BPK untuk "menyentil" pemerintah agar dapat bekerja lebih baik lagi.

Namun yang menjadi permasalahan adalah pernyataan BPK hanya berupa Opini tanpa didasari dengan fakta dan bukti yang cukup. Media dengan sedemikian rupa memanfaatkan "citra buruk" dan "fenomena" DJP untuk mendapatkan berita yang bombastis. Masyarakat Indonesia hanya menyimpulkan dari judul yang ada tanpa membaca berita yang ada. Padahal paragraf terakhir menegaskan bahwa BPK belum melakukan suatu audit apapun dan bisa saja hasil yang diperoleh tidak sebombastis judul yang telah dibuat oleh media.

Pledoi atas 96 Triliun BPK

Sebenarnya yang menjadi permasalahan menurut BPK adalah perbedaan antara omzet PPh dan omzet PPN yang dideteksi oleh BPK pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Besar. Namun menurut saya angka 96 triliun itu masih harus didalami lagi karena sejatinya memang perbedaan itu wajar terjadi. Berikut adalah beberapa argumen yang bisa saya berikan :

1. Karena perbedaan prinsip dalam pencatatan atau akuntansi atas transaksi kedua jenis pajak tersebut. Perlakuan akuntansi pajak untuk PPh menganut sistem accrual basis, sedangkan untuk PPN menganut cash basis.

Sebagai ilustrasi bisa digambarkan dua transaksi di bawah ini:

Contoh 1 : Penerimaan uang muka atas penjualan barang kena pajak di lihat dari sisi pembeli. Menurut aturan PPh transaksi tersebut belum merupakan objek PPh karena belum ada penyerahan barang. Namun dalam ketentuan PPN, transaksi tersebut sudah diakui karena telah terjadi pembayaran.

Contoh 2 : Bila terjadi penjualan barang kena pajak pada akhir tahun, dan dibayarkan pada awal tahun berikutnya. Menurut ketentuan PPh, sudah merupakan objek PPh karena sudah ada passing of title. Namun menurut ketentuan PPN, belum merupakan objek. Baru menjadi objek PPN pada masa pajak berikutnya.

Jadi, secara natural perbedaan antara omzet PPh dan PPN dalam satu masa atau satu tahun pajak memang dimungkinkan.

2. Adanya perbedaan kurs yang dipakai dalam PPh dan PPN. laporan keuangan perusahaan menggunakan kurs tengah BI (dasar perhitungan PPh), tetapi setiap pelaporan SPT masa PPN harus menggunakan kurs KMK (hanya dalam pelaporan PPN saja. Bukan pencatatan akuntansinya) sehingga tentunya ada perbedaan antara omzet menurut PPh dan PPN.

3. Terdapat penghasilan dari luar usaha yang dilaporkan pada SPT PPh badan tapi bukan merupakan objek PPN

4. Terdapat penghasilan yang tidak terutang PPN (bukan objek pajak) seperti WP yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa perbankan asuransi, sewa guna usaha, batubara, restoran/rumah makan, dan kehutanan yang merupakan objek PPh.

5. Terdapat perbedaan dasar pengenaan pajak antara PPh dan PPN terhadap penjualan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.

6. Adanya perbedaan pengakuan penghasilan antara PPh dan PPN bagi usaha jasa telekomunikasi.

7. Audit yang dilakukan BPK adalah audit kinerja bukan audit investigasi. Artinya temuan BPK hanya merupakan kelemahan sistem pengendalian dan kinerja yang buruk di KPP ini yang dapat mengakibatkan potensi kerugian negara sebesar 96 Triliun.

Saya gambarkan begini :

Jika Suatu Pabrik memiliki Kapasitas produksi sebesar 100 akan tetapi hanya mampu beroperasi 70. Berarti potensi kerugian produksi di Pabrik ini sebesar 30. Benarkah ini akibat kesalahan kinerja dari pegawai dipabrik itu? Bisa saja ini karena kesalahan dari pegawai dipabrik itu, namun menurunnya kapasitas produksi bisa saja akibat pasokan listrik yang kurang, bahan baku yang tidak cukup atau faktor2 eksternal diluar dari pegawai. Oleh karena itu : Saya sangat menunggu hasil audit BPK untuk mengetahui kebenaran fakta ini.

8. Dan masih banyak lagi, yang mungkin tidak cukup waktunya untuk dijelaskan disini.

Kesimpulan

Kesimpulan dari tulisan saya ini adalah agar media harusnya bisa berada ditengah dan mendudukan permasalahan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai hanya menjadi penyulut api yang sekarang memang sedang mengarah ke Direktorat Jenderal Pajak.

Untuk BPK, segerlah lakukan audit. Buktikan segera pernyataan yang Anda hembuskan. Ingat, auditor seharusnya bekerja berdasarkan Fakta bukan Opini dan praduga. Saya sangat menunggu hasil audit yang akan atau sedang dilakukan oleh BPK ini.

Semoga kita bisa mengutamakan solusi dibanding emosi...I Love Indonesia.