Sabtu, 21 Maret 2009

Korupsi, Keimanan dan Gaji Kecil Birokrat Negara

(“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tak akan pernah cukup untuk satu orang yang serakah”: Mahatma Gandhi). Sebuah petikan pernyataan yang cukup untuk mendeskripsikan bahwa manusia tidak akan pernah terpenuhi kebutuhannya terkecuali dia mau bersikap bijak dan menahan hawa nafsunya. Gaji yang kecil seringkali dijadikan justifikasi orang-orang untuk terus melakukan korupsi dan mendikotomikan nilai-nilai agama yang mereka peluk, padahal mereka sebenarnya adalah orang serakah dan memiliki keimanan yang rendah dalam menyikapi kehidupannya.

Gaji PNS yang Kecil

Semakin banyak saja orang tertarik dengan pekerjaan sebagai PNS, ribuan orang antri berjam-jam demi untuk mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa secara faktual, tingkat pendapatan PNS di Indonesia jauh dari kebutuhan minimum yang layak dan manusiawi. Itupun ditambah lagi dengan minimnya alokasi anggaran untuk kegiatan operasional instansi pemerintah,

Jika kita melihat struktur gaji PNS penerimaan terendah (level SMU) berdasarkan peraturan pemerintah nomor 8 tahun 2009 untuk golongan II/a masa kerja 0 tahun yaitu sebesar Rp. 1.320.300 dan standar Upah Minimum Regional (UMR) tahun 2009 yang paling tinggi (DKI Jakarta) adalah sebesar RP. 1.069.865 (sumber : Apindo), keduanya tidaklah layak untuk menjadi biaya hidup dimasa sekarang. Apalagi PNS yang nyata-nyata mempunyai posisi yang strategis di masyarakat, sudah selayaknya memperoleh gaji yang sesuai dengan tingkat pekerjaannya untuk mencegah kemungkinan penyimpangan yang terjadi. Tak jarang alasan gaji kecil inilah yang kemudian sering digunakan oleh para pelaku tindak korupsi sebagai pembenaran atas kejahatannya.

Perspektif Agama Tentang Korupsi

Pengertian korupsi menurut UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 adalah segala perbuatan : melawan hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2), menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3), kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11), kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10), delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12), delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7) dan delik Gratifikasi ( pasal 12B dan 12C.

Pada dasarnya semua agama melarang korupsi. Korupsi adalah extraordinary crime yang menyengsarakan banyak orang. Efeknya lebih jahat daripada mencuri atau merampok karena yang dirugikan adalah orang banyak. Jadi, sudah sewajarnya apabila semua agama melarang korupsi dan menempatkannya sebagai perbuatan yang tercela dan diganjar dengan dosa yang besar. Berikut merupakan persepsi empat agama besar mengenai korupsi :
  1. Agama Islam : Dalam pandangan Islam, korupsi (mencuri, suap) dan sejenisnya sangat dilarang dan haram hukumnya. Bahkan Allah SWT mengutuk mereka yang melakukan korupsi, sebagaimana dinyatakan, "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal : 27). Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan." (HR. Abu Daud). Rasulullah SAW juga mengingatkan, "Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara." (HR. Ahmad dan Hakim).
  2. Nasrani : Dalam Perjanjian lama maupun Baru, contoh-contoh korupsi dengan stratanya; korupsi karena kebutuhan (by need), karena kesempatan (by chance), dan karena ketamakan (by greed) lengkap disebutkan. Alkitab juga menyebutkan kekhawatiran akan tidak terjaminnya sandang, pangan, dan papan adalah awal dari korupsi. Al Kitab mengisahkan antara lain saat umat Israel keluar dari Mesir dan mengindahkan perintah Tuhan yang memelihara mereka dengan datangnya burung puyuh pada waktu senja dan roti dari surga (manna). Umat Israel bukannya mengambil sesuai perintah Tuhan, yakni segomer seorang, melainkan mengambil berlebihan. Upahnya, makanan yang mereka simpan malah menjadi busuk dan berulat (Keluaran 16:11-21). Contoh lainnya yang paling mashyur dan keji adalah akibat ketamakan adalah Yudas yang menyerahkan Yesus untuk disalib demi 30 keping uang perak.
  3. Hindu : Dalam agama Hindu, korupsi dipandang sebagai satu bentuk pencurian. Korupsi merupakan pelanggaran terhadap empat dari 10 larangan Hyang Widhi (Tuhan). Yakni, Tan Mamadung (tidak menerima yang bukan haknya), Tan Ujar Ahala (Tidak berkata bohong), Satya Wacana (Tidak melanggar sumpah) dan menunjunkkan ketidakpercyaan pada hokum karma pala. Korupsi adalah wujud rongrongan hawa nafsu.
  4. Budha : Didalam Sabda Sang Buddha yang intinya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang dirangkum sebagai berikut: ARAKKHA-SAMPADA yaitu Ia pandai melindungi penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan yang halal dan mencucurkan keringat, bahkan memperlipat gandakannya dan SILA yaitu Ia menjauhkan diri dari pembunuhan, penipuan, pencurian, hubungan sex yang tidak dibenarkan, ucapan yang tidak benar dan menghindar dari minum-minuman keras.

Intinya semua agama melarang korupsi walau tidak secara lugas disebutkan. Semua agama menanamkan nilai-nilai luhur kepada umatnya untuk mengajak kepada kebaikan dan menjauhi segala jenis kejahatan sekecil apapun itu seperti mencuri, merampok, dan lain-lain. Lalu kenapa korupsi di Indonesia marak terjadi ditengah masyarakat yang mayoritas muslim? Apakah Islam tidak melarang korupsi? Seperti sudah dijelaskan diatas tindakan korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Islam sangat mengutuk korupsi dan bahkan memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelakunya (hukum qisas). Dalam Islam tindakan korupsi itu sendiri bisa dianalogikan sebagai penyalahgunaan jabatan (Ghulul), pencurian (sariqoh), pengkhianatan dan suap (risywah). Kalau mau bersikap lebih jernih yang salah disini bukanlah Islam dan ajarannya sebagai agama, tetapi individu masing-masing dari pemeluk agama yang bersangkutan. Sekali lagi keimanan memagang peranan penting dalam pembentukan mental bangsa yang korup ataupun tidak.

Tingkat Keimanan dan Korupsi

Keimanan adalah sebuah sikap dimana kita mempercayai ajaran agama yang kita peluk dan kita berusaha untuk menjalankan dan menjauhi segala hal yang diperintahkan dan dilarang dalam agama. Intinya disini adalah ajaran untuk selalu berbuat baik. Keberkaitannya dengan gaji PNS yang kecil adalah ada banyak hal yang bisa dilakukan seorang PNS untuk menyikapi gaji kecil yang mereka peroleh terkait dengan keimanan yang dimilikinya agar kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Sekali lagi semuanya tergantung dari niat dan kemauan mereka dalam hal menyikapi gaji yang mereka terima tersebut. Apabila mereka memiliki tingkat keimanan yang baik, tentunya ada dua sikap yang dapat mereka lakukan. Pertama, mereka akan mencari sumber penghasilan lain dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sebagai contoh adalah guru yang selain mengajar di sekolah juga mengajar di sejumlah bimbingan belajar untuk memperoleh penghasilan tambahan. Kedua, mereka menerima gaji yang mereka peroleh tersebut. Konsekuensinya mereka harus memperketat pengeluaran dan hidup dengan lebih sederhana. Seorang PNS yang memiliki keimanan yang baik tentunya tidak akan melakukan penyimpangan seperti korupsi.

Lalu, bagaimana jika seseorang tidak memiliki tingkat keimanan yang baik? Ada sebuah pernyataan yang berbunyi yaitu “orang pintar yang tidak memiliki moral akan jauh lebih berbahaya dari orang jahat yang tidak pintar”. Korelasinya adalah seorang PNS yang notabene memiliki kemampuan yang baik tetapi tidak memiliki keimanan yang baik, akan sangat berpotensi besar untuk melakukan korupsi. Justifikasi awal mereka mengenai korupsi adalah mereka berdalih bahwa gaji yang kecil yang menyebabkan mereka melakukan korupsi. Padahal sebenarnya mereka tidak akan puas dan akan terus melakukan korupsi.

Menurut Maslow, kebutuhan seseorang itu terdiri dari enam tingkatan. Kebutuhan dasar berawal dari kebutuhan fisik (physical needs), kemudian berlanjut kebutuhan keamanan (security needs), sosial (social needs), harga diri (esteem needs) dan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Semakin tinggi tingkatan seseorang, maka semakin sejahtera kondisi dari orang tersebut. Ketika seseorang tidak melakukan tugasnya dengan baik, atau dalam hal ini melakukan manipulasi terhadap hasil pekerjaannya atau melakukan tindakan korupsi, pada hakikatnya ia telah kembali lagi ke level terendah dalam Piramida Maslow tersebut, ibaratnya ia bagaikan ”seekor binatang buas” yang hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan fisiknya saja dan tidak pernah bisa naik ke tingkatan berikutnya.

Tindakan memanipulasi suatu pekerjaan dan melakukan korupsi bukan merupakan cerminan sikap dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Hal ini malah menggambarkan bahwa pegawai tersebut belum terpenuhinya kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yaitu kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, dan papan. Haus akan kekayaan, perutnya masih membutuhkan makanan, jiwanya menginginkan pakaian dan perhiasan gemerlap, dan nafsunya hanya memikirkan uang yang bisa dia kumpulkan dan dia simpan. Tindakan ini akan semakin menjadi-jadi dan menyebabkan penghalalan segala cara demi memenuhi kebutuhannya tersebut. Maka pegawai tersebut tidak dapat penghargaan atau pengakuan atas kemampuannya, malah orang lain akan melihat bahwa mereka kembali menjadi golongan yang masih membutuhkan pemenuhan terhadap kebutuhan primernya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mendasarkan diri pada keimanan dan agama, tetapi lebih mementingkan kesenangan pribadi. Sebagai contoh adalah kasus korupsi antara anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal dan Presdir PT First Media Tbk Billy Sundoro terkait adanya monopoli siaran sepakbola Liga Inggris oleh operator TV berbayar Astro (Direct Vision). Gaji 10 Jutaan anggota KPPU terasa oleh mereka kurang dibanding dengan godaan atas jabatan yang mereka emban. Contoh lainnya adalah korupsi anggota DPR dengan gaji yang sangat besar akan tetapi masih tetap menerima uang haram dari mana-mana, seperti yang terungkap di penyidikan aparat penegak hukum terhadap Al Amin Nasution dari Fraksi PPP dan baru-baru ini adalah Abdul Hadi dari Fraksi PAN. Dari sini dapat dilihat bahwa Gaji bukanlah faktor utama seseorang melakukan korupsi. Orang dengan gaji yang besarpun melakukan korupsi dengan berbagai macam dalil dan alasan pembenaran

Antara Gaji kecil, Agama dan Korupsi

Gaji kecil memang merupakan salah satu sebab maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia, namun bukanlah satu-satunya faktor utama penyebab korupsi. Sudah sangat jelas dipaparkan diatas bahwa agama manapun melarang dan mengutuk korupsi sebagai perbuatan tercela.Apabila masing-masing pemeluk agama memiliki keimanan yang tinggi terhadap ajaran agamanya, korupsi bisa saja dihindarkan. Namun yang terjadi sekarang adalah moralitas dari masyarakat Indonesia yang rendah dan mendikotomikan agama yang mereka peluk. Mereka berpendapat bahwa korupsi adalah masalah horizontal dengan sesama manusia, sedangkan agama adalah masalah vertikal manusia terhadap Tuhannya. Seharusnya, nilai-nilai keimanan dan agama merupakan bagian dari hidup manusia dan dasar bertindak bagi tiap manusia didalam melakukan perbuatannya sehari-hari. Kesimpulannya adalah bagi orang yang tingkat keimanannya tinggi, gaji kecil merupakan jalan bagi mereka untuk lebih kreatif dalam mencari tambahan penghasilan atau menerima dan hidup lebih sederhana. Sedangkan bagi orang yang keimanannya rendah merupakan pembenaran untuk melakukan korupsi untuk kepentingannya sendiri. Apapun pilihan kita, selalu ingat bahwa akan ada kehidupan nanti setelah kehidupan dibumi sekarang dimana kita mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita selama didunia.


Tidak ada komentar: