Seorang temen semalem bercerita bahwa ia akan segera menikah dalam beberapa bulan lagi. Tetapi gawatnya ia ragu. Ragu apakah “dia” ,calon suaminya, adalah pria yang tepat baginya? Ditambah lagi, beberapa hari terakhir ini, ada seorang pria lain yang mendekatinya. Seorang pria yang selama ini menjadi idaman keluarganya. Seorang pria yang mapan dalam hal materi. Beda dengan yang pertama yang bahkan harus kelaparan demi untuk membahagiakan dirinya.
Singkat kata aku berbincang dengan dia selama lebih kurang 41 menit, sebuah percakapan yang menurutku perlu untuk dibagi didalam blog-ku ini. Sebuah cerita yang bisa diambil kesimpulan bahwa keraguan yang timbul disaat-saat kita akan menikah hanyalah merupakan godaan dari syaitan dan merupakan hal yang tidak beralasan. Walau aku bukanlah orang yang berkompeten untuk berbagi mengenai permasalahan ini (karena aku belum menikah), namun setidaknya ini bisa manjadi sebuah introspeksi setidaknya bagi diriku sendiri.
“Halo Assalamualaikum! Tom, gua butuh untuk ngomong sama kamu setidaknya selama 10 menit. Ini penting”, terdengar suara diseberang sana berbicara denganku ketika aku sedang berada di bis yang sedang dalam perjalanan menuju Palembang.
“Waalaikumsalam! Ok, lagian gua emang lagi gak ada kerjaan. Kenapa emang?”
“Tom, gua ragu dengan si A?”
Aku sempat terdiam sejenak. Aku berfikir bahwa bisa-bisanya ia ragu disaat-saat seperti sekarang. Saat yang seharusnya ia harusnya sudah mantap untuk menuju jenjang penikahannya.
“Kenapa harus ragu? Bukanlah dia yang telah meluluhkan hatimu selama ini? Bukankah dia yang mencintaimu apa adanya? Bukankah dia rela berkorban untukmu sampai-sampai ia kelaparan? Bukankah dia dengan lantangnya menyatakan bahwa dia berani untuk melamarmu? Akan berusaha mencukupi kebutuhan hidup keluarga kalian kelak? Menjadi imam yang akan membawa kalian kelak ke jalan yang diridhoi oleh Allah? Satu hal saja, apa yang membuatmu ragu? Kenapa?”, aku membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memuatnya terdiam sejenak.
Bukan pertama ini saja, aku menjumpai wanita yang ragu dengan pasangan hidupnya. Aku pernah berhadapan sengan wanita yang sedikit goyah dalam menghadapi pernikahannya. Ia sempat ragu bahwa apakah pria yang akan dia nikahi kelak adalah pasangan yang tepat baginya. Sebuah rekor dalam hal “on line”, dia menelponku nyaris selama 5 jam, dan selama itu pula aku harus meyakinkan dia bahwa pria yang akan dia nikahi kelak adalah pria yang tepat baginya. Aku bahkan menyuruhnya untuk sholat dan meminta kepada Allah agar dimantapkan hatinya (even though it's make me hurt). Bukankah sebaiknya semua masalah harus kita serahkan kepada yang diatas pada akhirnya kelak? Manusia boleh sedih, senang, bingung, panik atau apapun itu didalam menghadapi suatu masalah, namun hanya Allah-lah solusi terbaik bagi kita.
Kembali kepermasalahan yang dihadapi temanku ini, aku kemudian mempertegas kembali pertanyaanku,”Kenapa ?”
Dia hanya menjawab dengan satu kata, “Materi,Tom!”
Dia lalu membandingkan antara si A dan si B, singkat cerita perbandingannya begini :
1. Si A, seorang pria pekerja keras, sudah ia kenal lama, rela berkorban apa saja demi dia, dan tentu saja mencintainya apa adanya, tetapi negatif dalam hal materi. Satu hal yang harus kucatat dari sosok A, pengorbanannya itu lho...Bayangkan, misalnya penghasilannya 100, dia rela menyisihkan 80%-nya demi temanku dan masa depannya, 57% buat biaya nikah dan 20 % buat mencicil rumah. Gimana gak luar biasa coba.
2. Si B, seorang yang mapan, positif dalam hal materi dan merupakan laki-laki yang baik tentunya. Kelemahannya, dia baru saja di kenal.
3. Kalau soal agama, dua-duanya tidak perlu lagi dipertanyakan lagi.
Kalau menurutku, ini sudah jelas-jelas cuma permasalahan satu kata “Materi”. Aku kurang tau sepenting apakah materi itu bagi temenku itu, tapi yang jelas, si A sudah memenuhi kualifikasi laki-laki yang baik, bertanggung jawab, dan seorang pekerja keras. Cukuplah kriteria untuk menjadi seorang suami dan kepala keluarga yang baik bagi isteri dan anak-anaknya kelak. Aku jadi ingat sebuah surat yang kubaca dari blog temenku. Sebuah surat yang menurutku cukup untuk menggambarkan sosok si A dan sifatnya sebagai seorang “manusia biasa” yang tidaklah sempurna dan tidak pula memiliki materi yang melimpah.
Kepada YTH
Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak Ibu saya dan calon kakak buat adik-adik saya
Di tempat
Assalamu’alaikum W. W.
Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir. Baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.
Saya, yang bernama …… menginginkan anda …… untuk menjadi istri saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak. Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan. Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya. Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Oleh karena itu. Saya menginginkan anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini, agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati. Karena saya tidak tahu suratan jodoh saya. Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik. Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih anda. Yang saya tahu, Saya memilih anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini.
Saya mohon sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal 1 minggu, maksimal 1 bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini.
Amin
Wassalamu’alaikum Wr Wb
“Jadi menurutmu gimana, Tom? Beri aku sedikit pendapat tentang hal ini. Kalau menurutmu apakah aku harus memilih A atau B? Aku bingung, padahal dia akan segera datang kerumahku untuk melamarku. Dan pernikahanku juga tidak akan lama lagi?”, dia kembali terlihat bingung.
“Bayangin, kalau aku memilih B, aku akan lebih nyaman. Kalau jalan tidak kepanasan (dia lalu membandingkan antara motor si A dan Mobil si B) , materi terjamin, dia juga orangnya baik dan agamanya pun bagus. Satu hal lagi, orang tuaku pasti akan lebih memilih si B karena sebenarnya ibuku pernah menentang hubunganku dengan si A. Karena aku ngotot aja, makanya Ibuku mau menerima si A. Aku bener-bener bingung, Tom…Si B pun berani memberikan komitmen yang sama dengan si A. What should I do?”, ia kembali menambahkan.
Sebenarnya dia salah orang kalau menanyakan hal ini kepadaku, tapi aku harus menjawab pertanyaan ini, “Aku gak kompeten kalo menjawab pertanyaanmu ini. Tapi menurutku si A lah yang sebaiknya kau pilih. Si A adalah pria baik, bertanggung jawab, rela berkorban untukmu, dan dia sosok yang telah lama kamu kenal , jadi akan lebih muda untuk beradaptasi dengan dia”, aku sedikit berpendapat menurut sepengetahuanku saja, karena aku merasa aku benar-benar bukanlah orang yang pantas buat menjawab pertanyaannya.
Aku lalu menceritakan tentang suatu kisah beda “Cinta” dan “Pernikahan”. Semakin kita mencari cinta sejati, semakin kita tidak mendapatkannya karena akan selalu ada yang lebih baik dari pasangan kita. Tetapi kalau di tanya soal pernikahan, menikah bukanlah mencari yang lebih dan lebih baik, tetapi mencari seseorang yang cocok, bisa membuat kita nyaman, tampat berbagi, dan menyatukan perbedaan yang ada. Karena menikah bukanlah membuat kita sama dalam segala hal, tetapi membuat perbedaan yang ada pada diri tiap pasangan agar saling melengkapi den bukan malah meneliminasi perbedaan yang ada. Jadi, aku bertanya lagi kepada temenku itu. Akankah ia akan terus dan terus mencari seorang yang lebih baik dari si A. Jika benar begitu, tidaklah beralasan bagi dia untuk meninggalkan si A, kecuali jika ada sifat dari A yang secara prinsip tidak dapat kita terima, seperti contohnya dia ternyata sudah menikah, dan lain-lain. (Aku sok bijak banget kayaknya ya? he3)
Kemudian aku ceritakan pula tentang surat yang kubaca dari salah satu blog temanku diatas. Aku pun menyuruhnya untuk menonton film Cinderella Man jikalau dia sempat. Karena menurutku, berdasarkan ceritanya, sosok si A bisa digambarkan oleh dua hal diatas. Cukuplah surat dan film itu menjadi salah satu pertimbangannya.
“Aku Cuma bisa ngasih masukan segitu”, ujarku, “sisanya kamulah yang berhak untuk mutusinnya dan sebaiknya kamu juga minta pendapat dari orang tuamu dan temenmu yang lain sebagai second opinion. Jadi, bisa jadi bahan pertimbangan yang lebih baik buat kamu.”
“Terakhir, dan yang merupakan pendapat yang terbaik, kamu minta masukan dari ‘yang diatas’,gih! Sholat Istiqarah, berdoa atau apapun bentuknya itu. Yang jelas, Allahlah jalan yang terbaik bagimu. Ok!”, kata-kata penutup dariku sebelum menutup telepon.
“Iya,makasih, Tom. Paling gak, aku udah ada satu masukan”, suaranya masih pelan dan penuh keraguan, “Wassalamualaikum”.
“Waalaikumsalam W. W.”
Kesunyian di bis malam kembali menyelimuti diriku malam itu. Telepon kemudian kututup dan aku mengambil posisi yang nyaman agar bisa tidur sejenak, setidaknya sampai bis mencapai rumah makan Begadang V di Lampung.
* * * * *
Dua hari berselang sebuah sms masuk ke Handphone-ku, “Tom, kemarin si A tau aku ada perasaan dengan si B. Dia nangis dan dia meminta keseriusanku. Kalau aku tidak lagi menyukainya, dia memintaku untuk segera meninggalkannya sekarang. Baru kali itu aku melihat laki-laki menangis dan aku sudah melihat keseriusan dimatanya. Aku sudah bisa memutuskan sekarang.”
(Palembang, 21 September 2008)
1 komentar:
asli, mengharukan .....
Posting Komentar