Senin, 14 Juli 2008

Hati Seluas Danau


“Sial banget hari ini, sudah gak kebagian tiket terus pulangnya kehujanan lagi”, Keluh kesah yang kudengar dari teman satu kos yang gagal pulang akibat kehabisan tiket kereta. Keluh kesah pada dasarnya merupakan fitrah dari manusia ketika mendapatkan suatu masalah. Sangat wajar apabila terjadi. Tetapi apabila telah menyalahi batas dan menyalahkan Allah, tentunya hal ini sudah tidak pada tempatnya lagi. Manusia pada dasarnya diciptakan dengan masalah. Sejak lahir hingga kematian menjemput, masalah akan terus dihadapi oleh manusia. Cuma mungkin porsinya yang beda. Ada masalah yang ringan, sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa kita telah memperoleh suatu masalah. Hingga yang sangat berat, hingga banyak orang yang akhirnya melakukan tindakan yang diluar logika. Bunuh diri misalnya, Naudzubillah min dzalik.


Lalu bagaimana mengatasinya? Sabtu kemarin aku memperoleh nasihat yang menurutku harus dibagi kepada setiap orang. Sebuah cerita yang membuat kita harus memperluas hati kita didalam menyikapi banyak hal.


Suatu ketika, ada seorang murid yang bertanya kepada gurunya, “Syeikh, kenapa aku terus saja berkeluh kesah. Padahal bukankah berkeluh kesah itu dibenci oleh Allah. Lalu bagaimana mengobatinya?”


“Obatnya? Besok kamu bawa segenggam garam dan semangkuk air tawar”, jawab gurunya.


***


Keesokan harinya, si murid seperti yang telah diperintahkan oleh gurunya, membawa segenggam garam dan semangkuk air. Ia lalu menghadap gurunya tersebut.


”Syeikh, saya telah membawa segenggam garam dan semangkok air. Apa yang harus kulakukan terhadap dua benda ini?”, tanya murid tersebut kepada gurunya.


“Coba kau cicipi rasa dari garam tersebut”.


Murid tersebut mengambil secuil garam yang dibawanya lalu kemudian ia masukan kedalam mulutnya dan berkatalah ia, “Rasanya asin Syeikh!”, jawab sang murid sembari memejamkan mata menahan rasa asinnya garam yang baru saja ia cicipi.


“Kamu campurkan segenggam garam tersebut kedalam semangkuk air yang kamu bawa tadi, lalu kamu kamu aduk sampai larut semuanya”, sang guru kembali memerintahkan hal yang tidak dimengerti oleh muridnya.


“Sudah,syeikh”, jawabnya sembari mengaduk-aduk semangkuk air yang telah dituangkan garam tersebut.


Sang guru tersenyum lalu kembali berkata kepada muridnya tersebut, “kamu cicipi air yang telah kamu campur dengan garam tadi lalu ceritakan kepadaku bagaimana rasanya?”


“Sama seperti ketika syeikh menyuruh saya untuk mencicip garam. Rasnya asin”, jawabnya.


Kemudian Sang guru berdiri dan menyuruh muridnya tersebut untuk mengikutinya. Mereka sampai disebuah danau yang lumayan luas. Lalu ia kembali memerintahkan muridnya agar kembali menaruh segenggam garam kedalam luasnya danau tersebut, mengaduknya dan kembali mencicipi air di danau tersebut serta memberitahukan bagaimana rasa dari air danau yang telah dicampur dengan segenggam garam tersebut.


Kali ini muridnya berkata dengan respon yang berbeda, “rasanya tawar serta tidak terasa lagi asinnya garam”.


Kemudian sang guru menepuk pundak muridnya sembari menjelaskan maksud dari tindakan yang diperintahkan kepada muridnya tersebut.


“Kenapa garam? Karena garam saya analogikan sebagai masalah yang kita hadapi. Semakin banyak garam, rasanya akan semakin asin. Begitupula dengan masalah, semakin banyak, akan semakin tidak mengenakkan rasanya.


“Air saya analogikan sebagai hati kita. Semakin luas medianya, seberapapun masalah, yang kita hadapi akan semakin tidak terasa. Jangan memiliki hati yang hanya berisi semangkuk air yang akan cepat berubah asin hanya karena sedikit masalah. Berusahalah untuk memiliki hati seluas danau. Selalu berfikiran positif dan memandang suatu hal tidak hanya dari satu sisi. Jadilah hati seluas danau yang akan menjadi penyejuk dahaga bagi orang lain. Hadapi dan terimalah setiap masalah yang datang pada kita dengan bijak dan milikilah hati seluas danau, Muridku!”


Sang murid menganggukan kepala sembari tersenyum simpul terhadap gurunya tanda ia telah mengerti maksud dari gurunya tersebut.


Hati seluas danau. Apakah setiap orang mampu untuk memilikinya? Menurut saya tidak semua orang memilikinya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa berjiwa besar yang bisa memiliki hati seluas danau. Bahkan saya merasa hanya memiliki hati yang tidak jauh lebih besar dari semangkuk air. Yup, saya sangat sering berkeluh kesah.


Bagi yang tidak memiliki hati seluas danau jangan dulu berkecil hati. Ukhuwah adalah kata kuncinya. Bayangkan jika kita memiliki banyak saudara seaqidah yang bisa bisa kita jadikan sebagai tempat untuk berbagi masalah. Jika masing-masing dari saudara kita membawa semangkuk air dan digabungkan dengan semangkuk air yang dimiliki oleh kita, tentu namanya bukan lagi semangkuk air. Ia bisa menjadi satu ember ataupun satu bak penampungan besar air yang apabila dituangkan segenggam garam pun akan tidak berasa atau paling tidak akan berasa tidak terlalu asin.



Sebagai seorang sahabat yang baik, kita juga harus memperhatikan saudara-saudara kita yang lain. Sifat Taawaun atau tolong-menolong harus kita tanamkan kepada diri kita. Bawalah satu mangkuk kecil air kepada saudara kita yang sedang diberikan ujian oleh Allah agar bebannya menjadi lebih ringan. Baru saja beberapa minggu yang lalu saya mendengar sebuah cerita yang sangat memilukan. Ada seseorang yang sedang memiliki masalah yang sangat pelik. Ia lalu meminta bantuan kepada 7 orang sahabatnya dengan mengirimkan sms. Tebak apa yang terjadi? Hanya 2 orang yang membalas dengan mengatakan bahwa mereka tidak bisa datang saat itu. Lalu orang malang tersebut mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Saya tidak menjustifikasi apa yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar karena nyata-nyata bunuh diri adalah hal yang dilaknati Allah, tetapi yang saya soroti disini adalah kepedulian teman-temanya. Tidak adakah sedikit waktu bagi mereka untuk sekedar membagi semangkuk air kepada temannya agar air garam yang diminum temannya tidak terasa seasin apabila ia menghadapi permasalahannya sendiri?


Jadilah hati seluas danau atau jika tidak, bersikaplah untuk saling berbagi.


3 komentar:

Anonim mengatakan...

Hati yang luas itu ikhlas...
memikirkan, bertindak, dan ikhlas...

seperti doa hari ketiga mukhoyam kemarin kan Tom?
Ya Allah jika panas terik matahari ini tidak baik untuk kami, maka lindungilah kami dengan awan atau kesejukan-Mu.
Ya Allah jika panas terik matahari ini justru baik bagi kami untuk menggembleng mental mujahid, maka biarkanlah menyelimuti kami.

Anonim mengatakan...

Tom...udah sibuk banget kuliah nih kayanya.
makanya kuliah di Gedung C aja. trus bawa notebook. ngenet gratis dah. lumayan buat obat kantuk. seharian kuliah jeck.
semakin banyak tugas. padahal pengen pulkam akhir pekan ini.

Anonim mengatakan...

Bener Tomi, hati kita harus seluas samudra, sedalam lautan, setinggi bintang di angkasa, seluas jagad raya, seputih salju, sedingin embun, se ...sesemuanya lah.
Yang penting Tomi senang, hehehe ....